Rabu, 16 Januari 2013

PENARIKAN HARTA WAKAF OLEH WAKIF

Penarikan kembali harta wakaf oleh Wakif.

Harta yang diwakafkan tidak boleh ditarik kembali karena pada hakikatnya akad wakaf adalah memindahkan kepemilikan kepada Allah.[1] Apabila yang menjadi nadhir adalah orang yang mewakafkan (wakif) maka dia diperkenankan memecat orang yang diberi tugas mengelola harta wakaf, tetapi apabila nadhir itu orang yang disyaratkan mengelola oleh wakif maka dia tidakbisa dipecat oleh siapapun karena syarat tidak bisa berubah. Apabila wakif tidak menjabat sebagai nadhir, maka dia tidak bisa menguasakan atau memecat seseorang karena penguasaan dan pemecatan adalah hak hakim. Hak hakim ini di Indonesia dikuasakan pada Kepala KUA sebagaimana ketentuan dalam kompilasi hukum Islam pasal 221.[2] 

Ulama besar yang ijtihadnya selalu dijadikan sumber rujukan hukum seperti pemikiran Abu Hanifah, As-Syafi’i, Malik, Ahmad Bin Hambal, Muhammad dan Abu Hanifah. Pemikiran-pemikiran ulama di atas sering digunakan sebagai acuan hukum dalam perwakafan.

Secara umum, hukum wakaf menurut ijtihad para imam mazhab adalah sunnat dan bertujuan untuk kemaslahatan ummat, misalnya untuk pembangunan yang bersifat keagamaan baik pembangunan fisik maupun non fisik. Selain dari itu, para ulama imam mazhab juga sefakat bahwa ibadah wakaf  merupakan amal jariah, yaitu amal yang bersifat kebendaan yang pahalanya terus menerus mengalir bagaikan air tidak berhenti selama benda tersebut dimanfaatkan.[3]

Namun demikian, ulama imam mazhab berbeda pemikirannya dalam hal memahamkan wakaf itu sendiri. Misalnya, apakah harta wakaf itu masih kepunyaan orang yang berwakaf atau sudah lepas pada waktu harta itu diwakafkan.

Sebagai bahan pengetahuan, berikut ini dikemukakan pendapat masing-masing imam mazhab mengenai wakaf, sehingga dapat memperjelas pemikiran dan prinsip yang mereka gunakan dalam hal penarikan kembali harta wakaf oleh wakif.

1.     Mazhab Hanafi

Dalam hal wakaf ini, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa harta yang telah diwakafkan tetap menjadi milik orang yang berwakaf dan boleh ditarik kembali. Dengan demikian harta itu tetap milik orang yang berwakaf, hanya hasil dan manfaatnya saja yang digunakan untuk tujuan wakaf. Namun demikian Abu Hanifah memberikan pengecualian terhadap wakaf mesjid, wakaf ditentukan oleh keputusan mahkamah/pengadilan dan wakaf wasiat, ini  tidak boleh ditarik kembali.[4]

Abu Hanifah menjelaskan dengan diwakafkanya suatu harta bukan berarti bahwa harta tersebut lepas dari pemiliknya. Oleh karena itu, bolehlah kembali dan mengambil kembali harta yang telah diwakafkan. Bahkan boleh pula untuk menjualnya. Untuk ini Abu Hanifah memandang wakaf sama halnya dengan barang pinjaman, dan sebagai barang pinjaman tentu saja pemilik tetap memiliki harta itu serta boleh meminta dan menjualnya kembali kapan saja dikehendakinya.

2.     Mazhab Imam Maliki

Menurut mazhab ini, pemilik dari harta wakaf sama seperti pendapat mazhab imam  Abu Hanifah, yaitu harta wakaf tetap milik orang yang berwakaf. Perbedaannya dengan ijtihad mazhab Abu Hanifah hanya dalam hal mentasarufkannya saja. Kalau Abu Hanifah membolehkan harta itu dialihkan, sedangkan mazhab imam Maliki tidak membolehkannya selama harta tersebut masih berada dalam status wakaf.

Namun demikian, menurut mazhab ini boleh berwakaf untuk jangka waktu tertentu, dan bila masa yang telah ditentukan berlalu, bolehlah orang yang berwakaf mengambil kembali harta yang telah diwakafkannya. Pendapat mazhab imam Maliki beralaskan kepada hadis Ibnu Umar, ketika Rasulullah menyatakan kepada Umar “jika kamu mau, tahanlah asalnya dan sedekahkan hasilnya”. Menurut imam Maliki Rasulullah hanya menyuruh mensedekahkan hasilnya saja. Dari penjelasan itu, wakaf boleh untuk masa waktu tertentu. Lebih lanjut imam Maliki mengemukakan bahwa tidak ada satu dalil yang mengharuskan wakaf itu untuk selama-lamanya.[5]

3.     Mazhab Imam Syaf’i

Ijtihad imam Syafi,i berbeda dengan ijtihad imam sebelumnya. Imam Syafi’i berpendapat bahawa harta yang telah diwakafkan terlepas sama sekali dari si pewakaf yang telah mewakafkannya, dan menjadi milik Allah. Oleh karena itu, menurut imam Syafi’i harta wakaf itu berlaku untuk selamanya, dan wakaf dengan masa tertentu tidak boleh sama sekali.

Kemudian menurut madzhab ini tidak boleh mengembalikan harta wakaf kepada wakif jika wakif ingin mengambilnya kembali.[6]

Alasan imam Syafi’i adalah hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar mengenai tanah di Khaibar, imam Syafi’i memahamakan bahwa tindakan untuk mensedekahkan hartanya dengan tidak menjualnya, mewariskannya dan tidak menghibahkannya pada masa itu didiamkan sahaja oleh Rasulullah. Manakala diamnya Rasulullah sebagai hadis Taqriry. Karena itu wakaf itu berlaku untuk selamanya.

Demikian pula pendapat dari madzhab Syafi'i, nadhir boleh memecat dirinya sendiri (mengundurkan diri), dan wakif yang menjadi nadhir boleh memecat orang yang telah diangkat dan mengangkat orang lain, sebagaimana orang yang telah mewakilkan dapat memecat wakilnya dan mengangkat orang lain. Kecuali apabila wakif mensyaratkan seseorang untuk mengawasi wakaf pada saat dia mewakafkan, maka tidak boleh baginya dan tidak pula bagi orang lain memecatnya, meskipun untuk kemaslahatan. Karena sesungguhnya tidak boleh ada perubahan bagi apa yang telah disyaratkan dan karena sesungguhnya dengan pemecatan itu berarti tidak ada lagi pengawasan pada waktu itu. Adapun wakif yang bukan nadhir, tidak sah melakukan pengangkatan dan pemecatan, karena hak mengangkat dan memecat itu ada pada hakim.[7]

4.     Mazhab Imam Hambali

Mazhab ini dinisbahkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal dan berkembang di Baghdad pada akhir abad ke-2. Semula Abu Hanifah mengikut fiqih aliran ra’yu kepada Imam Abu Yusuf, murid Abi Hanifah, kemudian ia melakukan ijtihad sendiri. Dalam berijtihad beliau menggunakan metode qiyas, istihsan, saad adz-dzariah, dan al-maslahah al-mursalah.



[1] Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adilatuhu (Damaykus : Dar Al-Fikr Al-Arabi,2006 ).juz 8 hal 171.selanjutnya ditulis Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adilatuhu…

Redaksinya : أَنَّ المِلْكَ فِى رَقَبَةِ المَوقُوفِ يَنْتَقِلُ إِلَى اللهِ تَعَالَى, أَيْ يَنْفَكُّ عَنْ إِخْتِصَاص الآدَمِى.

"Sesungguhnya milik dalam pengawasan barang yang diwakafkan adalah berpindah kepada Allah ta'ala, artinya barang yang telah diwakafkan itu telah terlepas dari wewenang (kekuasaan) manusia".

[2] Tim Redaksi Fokusmedia,himpunan peraturan peundang-undangan tentang Kompilasi Hukum Islam, (bandung: Fokusmedia,2007)

Redaksinya :

               Pasal 221

1)     Nadzir diberhentikan oleh kepala Kantor Urusan Agama kecamatan karena:

a.      Meninggal dunia,

b.      Atas permohonan sendiri,

c.      Tidak bisa melakukan kewajiban lagi sebagai nadzir,

d.      Melakukan kejahatan sehingga dipidana,

2)     Bilamana terdapat lowongan jabatan nadzir karena salah satu alasan sebagai mana tersebut dalam ayat (1),maka penggantinya diangkat oleh kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.

3)     Seorang nadzir yang telah berhenti, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sub a, tidak dengan sendirinya digantikan oleh salah seorangb ahli warisnya.

[3] Muhammad bin Abdurrahan,Rahmatu Al-Ummah Fi Ikhtilafi Al-Aimmah (Al-Haramain,) hal 185.

[4] Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adilatuhu…1985

 

[5]Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adilatuhu…1985

[6] Abu Abdu Al-mu’thi Muhammad bin Umar bin Ali Nawawi, Nihayatu Al-Zaini Fi Irsyaadi Al-Mubtadi’i( Al-Haramain ,2005 ) hal 272.

[7] Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adilatuhu…1985

 

Jumat, 28 Desember 2012

Amtsal

A.     Pengertian Amtsal
Lafal amtsal jamak dari matsal (perumpamaan) atau mitsil (serupa) atau matsil, sama halnya dengan kata syabah atau syabih,[1] kata ini berkonotasi bandngan, contoh, dan lain-lain. Konotasi tersebut dalam kamus besar bahasa Indonesia dirumuskan : “missal : sesuatu yang menggambarkan sebagian dan keseluruhan”.[2]
            Secara terminologis para ahli bahasa arab memakai kata amtsal untuk menunjuk pada :
1.     Suatu kesempatan antara dua variabel yang berbeda akan tetapi ada titik sama yang mempertemukan dua hal yang berbeda itu.
2.     Pepatah atau pribahasa suatuungkapan yang digunakan untuk menggabarkan keserupaan suatu kondisi dengan kondisi lain yang diserupakan kepadanya.[3]
Perbedaan nyata antara tasybih tatsili dengan matsal. Yang pertama menyerupakan dua variabel yang berbeda dalam satu ungkapan atau kalimat, sementara yang kedua menggambakan kondisi tertentu yang kasusnya mirip dengan apa yang terkandung dalam ungkapan tersebut.
Sementara menurut rumusan para ulama antara lain :
*     Rasyid Ridha : amtsal adalah kalimat yang digunakan untuk member kesan dan menggerakkan hati nurani. Bila didengar terus, pegaruhnya akan menyentuh lubuk hati yang paling dalam.[4]
*     Ibn Al-Qayim : amtsal adalah menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukumnya; mendekatkan sesuatu ang abstrak kepada sesuatu yang konkret, atau salah satu dari keduannya yang lainnya.[5]



*      

*     Muhammad Bakar Isma’il : amtsal Al-Qur’an adalah mengmpulkan sesuatu dengan sesuau yang lain, baik dengan jalan isti’arah, kinayah atau tasybih.[6]
Jadi dapat disimpulkan amtsal Al-Qur’an adalah menampilkan sesuatu yang hanya ada dalam pikiran (abstrak) dengan deskripsi sesuatu yang dapat diindera (konkret), melalui pengungkapan yang indah dan mempesona, baik dengan jalan tasybih, isti’arah, kinayah atau mursal.
B.     Macam – macam Amtsal Al-Qur’an
Secara garis besar nya ada tiga macam amtsal, antara lain :
1.     Amtsal musharahah
Amtsal musharahah adalah amtsal yang jelas mnggunakan kata-kata perumpamaan aaataaau kata yang menunjukkan  penyerupaan (tasybih).[7]
Contoh ayat :
انزل من ا لسماء ماء فسألت اودية بقدرهافحتمل السيل زبدا رابيا ج ومما يوقدون عليه في الله ا لحق والباطل ج فاؤءماالزبد فيدهب جفاء ج وأما ماينفع الناس فيمكث في ا لارض ج كدلك يضرب ا لله الامثال (الرعد : 17)
Artinya : “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang.dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; dapun yang member manfaat kepada manusia maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan”. (Ar- Ra’ad : 17)
Ø  Wahyu yang diturunkan untuk menghidupkan hati diumpamakan dengan air yang turun untuk menghidupkan bumi. Hati diumpamakan tumbuh-tumbuhan di bumi. Air yang mengalir di lembah-lembah selalu memantulkan buih, begitupula petujuk dan cahaya apabilamelewati hati yang dicemari oleh syahwat. Inilah perumpamaan air, adapun prumpamaan api terlihat pada wamimma yuqidun. Apabila logam dipanaskan, kulitnya akan terkelupas sehingga terlihatlah permata yang diakibatkan poses pemanasan. Demikianlah pulalah hati seorang mukmin yang akan membuang jauh-jauh dengan syahwat.
2.     Amtsal kaminah
Amtsal kaminah adalah amtsal yang tidak menyebutkan dengan jelas kkkata-kata yang menunjukkan perumpamaan, tetapi kalimat itu mengandung pengertian yang mempesona,sebagaimana yang terkandung di dalam ungkapan-ungkapan singkat (ijaz).[8]
a)     Ayat-ayat yang senada dengan perkataan :
خير الاموراوسطها  “sebaik-baik urusan adalah pertengaannya”
أنها بقرة لا فارض ولابكرعوان بين دلك (البقرة : 68)
muda, tapi pertengahan antra itu” (Al-Baqarah : 68)
b)     Ayat-ayat yang senada dengan perkataan
ليس الخبركالعيان  “ bobot sebuah berita berbeda dengan menyaksikannya sendiri”.
وادقال ابراهيم رب أرني كيف تحي الموتي ج قال اولم تؤمن ط قال بلي ولكن ليطمئن قلبي (البقرة:270)
Atinya : “dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata “ya tuhanku, perihatkanlah padamu bagaimana engkau menghidupkan orang mati”. Alah berfirman “belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab ,”aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)”. (Al-Baqoroh : 270)

c)      Ayat-ayat yang senada dengan perkataan : “sebagaimana kamu telah menghutangkan, maka kamu akan bayar”
كما تدين تدان  “ apa yang engkau lakukan terhadap orang lain, begitulah ngks diperlakukan oleh orang lain”.
من يعمل سؤا يجزبه (النسا : 123)
Artinya : “ barang siapa yang mengerjkan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dngan kejahatan itu”. (An-Nisa : 123)
3)     Amtsal Mursalah
Amtsal mursalah adalah kalimat-kalimat Al-Qur’an yang disebut secara lepas tanpa ditegaskan redaksi penyerupaan, tetapi dapat digunakan untuk penyerupaan.[9]
Contoh ayat :
قالت امرأةالعزيز الآن حصحص ا لحق أنا راودته عن نفسه وانه لمن الصادقين (يوسف : 51)
Artinya :”berkata istri Al-Aziz,”sekarang jelaslah kebnaran itu, akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan dia termasuk orang-orang yang benar”. (Yusuf:51)
            Para ulama berbeda pendapat tentang ayat-ayat yang mereka namakan amtsa mursalah ini, apa atau bagaimana hukum mempergunakannyasebagai matsal?
            Sebagian ahli ilmu memandang hal demikian sebagian telah keluar dari adab Al-Qur’an. Berkata Ar-razy ketika menafsirkan ayat : لكم دينكم ولي دين (Al-kafirun(109):6)
            Sudah menjadi tradisi orang, menjadikan ini sebagai matsal (untuk membela, membenarkan perbuatannya). Ketika ia harus meninggalkan agama, padahal hal demikian tidak dibenarkan sebab Allah menurunkan Al-Qur’an buka untuk dijadikan matsal, tetapi untuk direnungkan dan kemudian diamalkan isi kandungannya.

C.     Unsur – unsur Amtsal dalam Al-Qur’an
Sebaian ulama mengatakan bahwa amtsal memiliki 4 unsur, yaitu :
1)     Segi perumpamaan
2)     Alat yang dipergunakan untuk tasybih
3)     Yang diperumpamakan
4)     Sesuatu yangdijadikan perumpamaan
Aeperti firman Allah :
مثل الدين ينفقون أموالهم في سبيل الله كمثل حبة أنبتت سبع سنابل في كل سنبلة مائة حبة ج والله يضاعف لمن يشاء ج والله واسع عليم (البقرة : 261)
Artinya : “perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)orng yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir pada tiap-tiap butir :seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran ) bagi siapa saja yang dikehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia Nya lagi Maha Mengetahui)”. (Al-Baqoroh:261)
Ø  Wajhu syabah pada ayat di atas adalah pertumbuhan yang berulang-ulang. Adatu tasybih nya adalah kata matsal, musyabbahnya adalah infak atau shodaqoh di jalan Allah. Edangkan musyabbahbihnya adalah benih.
D.  Faedah – faedah Amtsal dalam Al-Qur’an
*     Menampilkan sesuatu yang abstrak (yang ada dalam pikiran) ke dalam sesuatuyang konkret material yang dapat diindera manusia dan difahami oleh manusia.[10]
*     Menyingkap makna yang sbenarnya dan memerlihatkan hal yang gaib melalui paparan yang nyata,[11] seperti dalam firman Allah :
الدين يأكلون أموال الربا لا يقومون الا كما يقوم الدي يتخبطه الشيطان من المس (البقرة : 275)
Artinya :”orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, mlainkan seerti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila”. (Al-Baqoroh: 275)
*     Menghimpun artiyang indah dalam ungkapan yang  singkat sebagaimana terlihat dalam amtsal kaminah dan amtsal mursalah.[12]
*     Membuat seseorang lari dari perumpaaan yang dsebut dalam ayat karenaperumpamaan tersebut termasuk yang dibenci oleh tabiat.[13]
*     Membuat si pelaku amtsal menjadi senang dan bersemangat.
*     Meberikan pujian pada pelaku.[14]
*     Memperlihatkan bahwa yang dijadikan perumpamaan memiliki sifat yang tidak disenangi manusia.
*     Amtsal lebih berpegaruh pada jiwa, lebih efektif dalam memberikan nasihat, lebih kuat dalam memberikan peringatan dan lebih dapat
memuaskan hati. Dalam Al-Qur’an Allah swt banyak menyebut amtsal untuk peringatan dan supaya dapat diambbil ibrahnya.[15]
*     Memberikan kesempatan pada setiap budaya dan juga bagi nalar para cendikiawan untuk menafsirkan dan mengaktualisasikan diri dalam wadah dan nilai-nilai universalnya.
*     Untuk menjadi hujjah (argument) atas kebenaran.[16]



[1] Manna Al-Qathtan. Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an, Mansyurat Al-Hasr Al-Hadits,1973,hlm 282.
[2] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, cet. Ke-1,1998. Hlm.587.
[3] قول محكمي سائر يقصد منه تشبيه حال ا لدي حكي فيه يحا ل ا لدي قيل لاجله
(al-syaykh Ahmad Al-Iskandari ; al-syaykh Musthafa ‘Inani, Al-Wasith Fi Al-Adab Al-Arabi Wa Tarikhi,Dar Al-Ma’arif,1978,hlm. 16).
[4] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, jilid 1, Dar Al-Fikr, Beirut,tt.,hlm.236.
[5] Al-Qaththan,op. cit,hlm.283.
[6] Muhammad Bakar Isma’il, Dirasat Fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Manar, kairo, 1991, hlm. 334.
[7] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, Pustaka Setia, Bandung, cet.ke-1,2000.hlm.94.
[8] Ibid., hlm. 97.
[9] Ibid ., hlm.105.
[10] Ibid,. hlm. 107.
[11] Ibid,. hlm. 108
[12] Ibid., hlm. 109.
[13] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, hlm. 255.
[14] Rosihon Anwar, o. cit, hlm. 110.
[15] Ibid .,hlm. 112.
[16] Nashruddin Baidan, op. cit,hlm. 258.