PENARIKAN HARTA WAKAF OLEH WAKIF
Penarikan kembali harta wakaf oleh Wakif.
Harta yang diwakafkan tidak boleh
ditarik kembali karena pada hakikatnya akad wakaf adalah memindahkan
kepemilikan kepada Allah. Apabila yang menjadi nadhir adalah orang yang
mewakafkan (wakif) maka dia diperkenankan memecat orang yang diberi tugas mengelola
harta wakaf, tetapi apabila nadhir itu orang yang disyaratkan mengelola oleh
wakif maka dia tidakbisa dipecat oleh siapapun karena syarat tidak bisa
berubah. Apabila wakif tidak menjabat sebagai nadhir,
maka dia tidak bisa menguasakan atau memecat seseorang karena penguasaan dan
pemecatan adalah hak hakim. Hak hakim ini di Indonesia dikuasakan pada Kepala
KUA sebagaimana ketentuan dalam kompilasi hukum Islam pasal 221.
Ulama besar yang ijtihadnya selalu dijadikan sumber rujukan hukum
seperti pemikiran Abu Hanifah, As-Syafi’i, Malik, Ahmad Bin Hambal, Muhammad
dan Abu Hanifah. Pemikiran-pemikiran ulama di atas sering digunakan sebagai
acuan hukum dalam perwakafan.
Secara umum, hukum wakaf menurut ijtihad para imam mazhab
adalah sunnat dan bertujuan untuk kemaslahatan ummat, misalnya untuk
pembangunan yang bersifat keagamaan baik pembangunan fisik maupun non fisik.
Selain dari itu, para ulama imam mazhab juga sefakat bahwa ibadah wakaf merupakan amal
jariah, yaitu amal yang bersifat kebendaan yang pahalanya terus menerus
mengalir bagaikan air tidak berhenti selama benda tersebut dimanfaatkan.
Namun demikian, ulama imam mazhab berbeda pemikirannya dalam hal
memahamkan wakaf itu sendiri. Misalnya, apakah harta wakaf itu masih kepunyaan
orang yang berwakaf atau sudah lepas pada waktu harta itu diwakafkan.
Sebagai bahan pengetahuan, berikut ini dikemukakan
pendapat masing-masing imam mazhab mengenai wakaf, sehingga dapat memperjelas
pemikiran dan prinsip yang mereka gunakan dalam hal penarikan kembali harta
wakaf oleh wakif.
1.
Mazhab
Hanafi
Dalam hal wakaf ini, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa
harta yang telah diwakafkan tetap menjadi milik orang yang berwakaf dan boleh
ditarik kembali. Dengan demikian harta itu tetap milik orang yang berwakaf,
hanya hasil dan manfaatnya saja yang digunakan untuk tujuan wakaf. Namun
demikian Abu Hanifah memberikan pengecualian terhadap wakaf mesjid, wakaf
ditentukan oleh keputusan mahkamah/pengadilan dan wakaf wasiat, ini tidak
boleh ditarik kembali.
Abu Hanifah menjelaskan dengan diwakafkanya suatu harta
bukan berarti bahwa harta tersebut lepas dari pemiliknya. Oleh karena itu,
bolehlah kembali dan mengambil kembali harta yang telah diwakafkan. Bahkan
boleh pula untuk menjualnya. Untuk ini Abu Hanifah memandang wakaf sama halnya
dengan barang pinjaman, dan sebagai barang pinjaman tentu saja pemilik tetap
memiliki harta itu serta boleh meminta dan menjualnya kembali kapan saja
dikehendakinya.
2.
Mazhab
Imam Maliki
Menurut mazhab ini, pemilik dari harta wakaf sama
seperti pendapat mazhab imam Abu Hanifah, yaitu harta wakaf tetap milik
orang yang berwakaf. Perbedaannya dengan ijtihad mazhab Abu Hanifah
hanya dalam hal mentasarufkannya saja. Kalau Abu Hanifah membolehkan
harta itu dialihkan, sedangkan mazhab imam Maliki tidak membolehkannya selama
harta tersebut masih berada dalam status wakaf.
Namun demikian, menurut mazhab ini boleh berwakaf untuk
jangka waktu tertentu, dan bila masa yang telah ditentukan berlalu, bolehlah
orang yang berwakaf mengambil kembali harta yang telah diwakafkannya. Pendapat
mazhab imam Maliki beralaskan kepada hadis Ibnu Umar, ketika Rasulullah
menyatakan kepada Umar “jika kamu mau, tahanlah asalnya dan sedekahkan
hasilnya”. Menurut imam Maliki Rasulullah hanya menyuruh mensedekahkan hasilnya
saja. Dari penjelasan itu, wakaf boleh untuk masa waktu tertentu. Lebih lanjut
imam Maliki mengemukakan bahwa tidak ada satu dalil yang mengharuskan wakaf itu
untuk selama-lamanya.
3.
Mazhab
Imam Syaf’i
Ijtihad imam Syafi,i
berbeda dengan ijtihad imam sebelumnya. Imam Syafi’i berpendapat
bahawa harta yang telah diwakafkan terlepas sama sekali dari si pewakaf yang
telah mewakafkannya, dan menjadi milik Allah. Oleh karena itu, menurut imam
Syafi’i harta wakaf itu berlaku untuk selamanya, dan wakaf dengan masa tertentu
tidak boleh sama sekali.
Kemudian menurut madzhab ini tidak
boleh mengembalikan harta wakaf kepada wakif jika wakif ingin mengambilnya
kembali.
Alasan imam Syafi’i adalah hadis yang diriwayatkan Ibnu
Umar mengenai tanah di Khaibar, imam Syafi’i memahamakan bahwa tindakan untuk
mensedekahkan hartanya dengan tidak menjualnya, mewariskannya dan tidak
menghibahkannya pada masa itu didiamkan sahaja oleh Rasulullah. Manakala
diamnya Rasulullah sebagai hadis Taqriry. Karena itu wakaf itu berlaku
untuk selamanya.
Demikian pula pendapat dari madzhab Syafi'i, nadhir
boleh memecat dirinya sendiri (mengundurkan diri), dan wakif yang menjadi
nadhir boleh memecat orang yang telah diangkat dan mengangkat orang lain,
sebagaimana orang yang telah mewakilkan dapat memecat wakilnya dan mengangkat
orang lain. Kecuali apabila wakif mensyaratkan seseorang untuk mengawasi wakaf
pada saat dia mewakafkan, maka tidak boleh baginya dan tidak pula bagi orang
lain memecatnya, meskipun untuk kemaslahatan. Karena sesungguhnya tidak boleh ada
perubahan bagi apa yang telah disyaratkan dan karena sesungguhnya dengan
pemecatan itu berarti tidak ada lagi pengawasan pada waktu itu. Adapun wakif
yang bukan nadhir, tidak sah melakukan pengangkatan dan pemecatan, karena hak
mengangkat dan memecat itu ada pada hakim.
4.
Mazhab
Imam Hambali
Mazhab ini dinisbahkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal dan
berkembang di Baghdad
pada akhir abad ke-2. Semula Abu Hanifah mengikut fiqih aliran ra’yu
kepada Imam Abu Yusuf, murid Abi Hanifah, kemudian ia melakukan ijtihad
sendiri. Dalam berijtihad beliau menggunakan metode qiyas,
istihsan, saad adz-dzariah, dan al-maslahah al-mursalah.
Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adilatuhu (Damaykus : Dar Al-Fikr Al-Arabi,2006 ).juz 8 hal 171.selanjutnya ditulis Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu
al-Islami wa Adilatuhu…
Redaksinya : أَنَّ المِلْكَ فِى رَقَبَةِ
المَوقُوفِ يَنْتَقِلُ إِلَى اللهِ تَعَالَى, أَيْ يَنْفَكُّ عَنْ إِخْتِصَاص
الآدَمِى.
"Sesungguhnya
milik dalam pengawasan barang yang diwakafkan adalah berpindah kepada Allah
ta'ala, artinya barang yang telah diwakafkan itu telah terlepas dari wewenang
(kekuasaan) manusia".
Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adilatuhu…1985
Nggak lngkap bnget sih pembhasanx ,nggak ada yg kta cari,,,,bosannnnn
BalasHapusmantabbbb
BalasHapus